SISTEM RELIGI MASYARAKAT TENGGER

Posted by PoeR_Purwanti Label:

SISTEM RELIGI MASYARAKAT  TENGGER
A.    AGAMA MASYARAKAT TENGGER
Sistem  Religi di masyarakat tengger di desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo mayoritas beragama Hindu. Berdasarkan sejarah terjadinya, dengan kedatangan agama Islam di pulau Jawa pada 1426 M, orang-orang Hindu ini terdesak dari daerah pantai hingga akhirnya menetap di daerah yang sulit dijangkau oleh pendatang, yaitu di daerah pegunungan Tengger. Disanalah mereka
membentuk sebuah kelompok sendiri yang hingga kini masih dikenal dengan orang atau tiang Tengger.
Pada abad ke-16, para pemuja Brahma di tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata Persia, yaitu “wilayah di sekitar negara Iran”). Akhirnya, orang-orang Tengger yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi (Capt.R.P.Suyono : 2009 : 23).
Beralihnya orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi teryata belum dapat menghilangkan seluruh kepercayaan awalnya. Orang Tengger masih tetap melakukan ajaran Budha. Bahkan kebiasaan ini pada akhirnya dianut juga oleh pendatang Hindu Parsi (Capt.R.P.Suyono : 2009 : 25).
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa agama hindu yang telah memayoritasi di masyarakat tengger  termasuk di desa Ngadisari ini. Adapun tiga prinsip ajaran Hindu masyarakat Tengger antara lain :
·         Pemujaan kepada Tuhan
·         Pemujaan kepada Leluhur
·         Pemujaan kepada alam semesta.
Akan tetapi antara religi dengan adat masyarakat Tengger lebih kuat adatnya dibandingkan religi atau agamanya. Religi atau agama lebih sebagai pelengkap adat masyarakat Tengger.
Konsep sembahyang umat Hindu adalah menghadap Segara Gunung. Ketika masyarakat tersebut berada di wilayah Gunung maka tempat tempat sembahyang atau Pura harus menghadap ke Gunung seperti halnya pada masyarakat Tengger yang tinggal diwilayah Gunung Bromo, maka seolah-olah mereka menghadap ke Gunung Bromo.


B.   UPACARA-UPACARA MASYARAKAT  TENGGER

Azas-azas religi dikembangkan oleh W. Robertson Smith, (Koentraningrat : 1987 : 67). Menerangkan bahwa dalam salah satu gagasannya bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat tengger di desa Ngadisari ini, mereka melakukan upacara-upacara karena sudah menjadi kewajiban yang sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Upacara pada masyarakat tengger ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu
1.      Kasada,
Kasada merupakan perayaan terbesar orang-orang tengger, dan merupakan hari raya khusus masyarakat tengger dan tidak berlaku bagi agama hindu lainnya. Upacara kasada diperingati pada bulan ke 12 atau kasada (dalam kalender Jawa) antara bulan Agustus September. Dilakukan dengan mengambil air suci atau tirta dari gunung Widodaren untuk penyucian jiwa masyarakat tengger di laut pasir atau poten dan ritual ini dinamakan nglukat umat. Tujuan dari kasada adalah untuk sedekah bumi yaitu hasil pertanian dan peternakan. Fungsi dari upacara tersebut adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Sedekah bumi itu setengahnya dimasukkan ke dalam kawah gunung Bromo dan sebagian diletakkan di lautan pasir ( biasanya disebut Ongkek ). Waktu pelaksanaan Kasada dimulai jam 12 malam dan sebelumnya dibawa, maka harus diletakkan terlebih dahulu di Pura Luhur Poten untuk dibacakan mantra, setelah itu baru kemudian dilempar ke kawah. Upacara Kasada juga disebut sebagai Upacara labuh Sesaji. Upacara adat pada masyarakat tengger secara komunal ada 6, antara lain adalah :
·         Upacara Karo
·         Pujan Kapat yaitu pemujaan bulan ke empat.
·         Pujan kapitu yaitu pemujaan bulan ke tujuh.
·         Pujan Kawalu yaitu pemujaan bulan ke delapan.
·         Pujan Kasanga yaitu pemujaan bulan ke sembilan.
·         Pujan kasada yaitu pemujaan bulan ke duabelas.

2.      Upacara Galungan
Upacara galungan merupakan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat tengger yang dilakukan dengan cara, masyarakat Tengger membawa berbagai macam makanan yang kemudian dibawa ke Sanggar dan bersembahyang bersama, setelah itu makanan makanan tersebut dimakan bersama.
3.      Upacara Kuningan
Kuningan sejenis upacara sembahyang hari besar sebelum kasada. Yang bertujuan untuk menyelamati warga. Biasanya dilaksanakan pada Rabu Agung.
4.      Upacara Karo
Upacara seperti upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terutama yang beragama islam, yang biasanya dilaksanakan pada hari lebaran, yang tujuanya bersilaturahmi dengan tetangga dan agar manusia kembali pada kesucian untuk memperingati Sang Hyang Widhi. Upacara ini disebut juga satya yoga,di lakukan setahun sekali selama 120 hari. Biasanya sebelum upacara ini dilakukan pemujaan pada arwah keluarga yang telah tiada dipura bersama sama satu desa.
5.      Upacara Sadoran  
Yaitu upacara adat yang dilakukan untuk memperingati kelahiran manusia dahulu kala. Dalam upacara ini terdpat prosesi pemanggilan roh-roh halus.
C.RITUS PERALIHAN
1.      Prosesi Kelahiran atau Sesayut
Dalam masyarakat tengger tidak terlalu sakral, ada beberapa prosesi yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, diantaranya adalah 7 bulanan yaitu selamatan yang diadakan ketika usia kandungna berumur 7 bulan dan dilakukan upacara selamatan dengan adanya dukun sebagai orang yang mendoakan, selamatan dengan mendoakan bayi dengan makanan berupa cepal, maupun pisang yang beraneka macam. Selain itu ketika bayi berusia 44 hari maka dilaksanakan acara lek-lekan (adat Jawa) berupa nasi tumpeng. Setelah itu upacara Turun Tanah atau biasa disebut “Ngrosoki” . Ketika bayi beranjak dewasa diadakan Selamatan yang disebut “Indung”. Ada juga upacara “Potong-Tugel Kuncung” yaitu prosesi potong rambut seperti halnya pada sinkretisme masyarakat Jawa.
2.      Perkawinan
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan tercapainya suatu pernikahan yang pertama adalah menanyakan hari dan tanggal kepada kepala desa, yang dilakukan mempelai pria. Yang kedua mencocokan tanggal dan hari kepada dukun adat untuk disesuakan dengan weton Jawa. Yang ketiga lamaran dilakukan oleh orang tua pria. Tata cara perkawinan ada dua yaitu pawilahan atau ijab Kabul. Yang kedua Walagara, atau temu manten. Upacara perkawinan ini biasanya disebut dengan upacara Praswata Gara.
Tidak ada batasan tetapi dalam perkawinan masyarakat kembali pada yang bersangkutan artinya masyarakat tengger menikah dengan orang yang berasal dari masyarakat luar tengger hanya saja kembali pada keyakinannya. Jika pengantin wanita berasal dari tengger maka tata cara proses pernikahan melalui proses hindu. Bisa juga dikatakan tidak ada aturan untuk persyaratan pernikahan.
3.      Kematian
Sistem ngaben Jawa dalam system jawa penguburannya tidak sama dengan adat hindu di Bali. Masyarakat tengger sendiri mempunyai kawasan dengan agama Islam di Jaawa yaitu dimakamkan dengan mengenakan kain kafan tetapi dengan badan menghadap ke atas atau terlentang dengan kepala diposisi selatan menghadap kawah Gunung Bromo. Sesudah dimakamkan dibuatkan boneka yang terbuat dari daun-daun tertentu dan pelepah pisang kemudian dibakar di Danyang atau pepunden. Upacara ini disebut ntas-ntasan.upacara ini biasanya dilakukan ketika keluarga yang bersangkutan mempunyai biaya yang besar karena upacara tersebut membutuhkan prosesi yang cukup rumit. Dalam upacara ini, adapaun penyerahan sesaji yang jumlahnya disesuaikan dengan arwah yang di entas-entaskan. Adapun tujuanya yaitu untuk penghapusan dosa. Di dalamnya masyarakat atau keluarga tersebut wajib menyerahkan sesaji yang isinya berbagai jenang merah dan putih dan berbagai buah-buahan yang dipotong kecil-kecil dan berbagai bunga, yang dimantrai oleh dukun. Setelah itu ada penghapusan dosa yang disimbolkan dengan ayam yang dilepaskan, kemudian diberi beras, di boneka duplikat tadi diberi sejumput beras pada bagia kepala boneka, jika beras itu habis maka dosanya dipercaya akan diampuni semuanya.
Semua upacara-upacara atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat tengger, salah satunya di desa Ngadisari ini adalah sebuah bentuk wujud adanya unsur kekeramatan Gunung Bromo menempati peranan yang sangat penting.
D.MENGENAI KEPERCAYAAN MAGIS
Pada masyarakat tengger di desa Ngadisari ada beberapa hal yang dianggap mempunyai kekuatan (magis), diantaranya adalah
·         Dalam upacara kematian, Danyang atau pepunden dianggap keramat (sakral) oleh masyarakat Tengger. Danyang itu sendiri merupakan tempat keramat yang digunakan untuk membakar bunga bunga, boneka-boneka yang terbuat dari pelepah pisang dan kemudian dibakar sampai habis.
·         Pawang hujan dipercaya bisa mengendalikan hujan.
·         Tempat yang disakralkan salah satunya adalah Sanggar Tunggal Jati yang merupakan tempat sembahyang bagi para umat Hindu disana. Apabila masuk harus disucikan terlebih dahulu dengan air suci, untuk perempuan harus suci (tidak dalam keadaan menstruasi), tidak boleh berpikir maupun berkata tidak baik.
·         Padmasana merupakan tempat meletakkan sesaji, biasanya isi sesaji terdiri dari buah buahan yang dipotong kecil kecil yang dimasukkan ke Tamping ( dari daun pisang ). Padmasana biasanya diletakkan di pertigaan atau peempatan jalan dan sebagaian ada yang di depan rumah.
·         Tamping yang berisi bunga bunga dan jenang merah maupun putih yang diletakkan di depan dan di belakang rumah yang bertujuan untuk menangkal bala atau malapetaka, penyakit dan hal hal buruk yang akan menimpa keluarga tersebut.
·         Masyarakat Tengger tidak terlalu mempercayai adanya santet,pellet, tenun atau hal hal sejenisnya, karena hal tersebut jarang terjadi du masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger menganggap berbagai hal yang menyalahi adat istiadat agama adalah tabu, yang diantaranya adalah :
·         Dilarang melangkahi pawon,jika dilanggar jodohnya akan direbut oleh orang lain.
·         Dilarang adanya pernikahan yang masih ada hubungan darah atau keluarga atau disebut papagan wali dan apabila larangan ini dilanggar, maka bala atau malapetaka akan datang.
·         Jika dalam pemilihan calon dukun, ketika pelantikan lupa akan mantra itu pertanda alam tidak mengijinkan menjadi dukun, dan calon dukun harus diganti.
·         Untuk disekitar kawasan Bromo diperingatkan tidak boleh membawa batu batu dari sana dan tidak boleh buang air kecil menghadap Kawah Bromo.
·         Untuk di dalam pura (tempat sembahyang) tidak boleh berpikiran berkata dan berbuat yang tidak baik. Bagi perempuan yang tidak suci atau haid tidak diperbolehkan masuk ke dalam Pura.
Capt. R. P. Suyono, 2009. Mistisisme Tengger. Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang

0 komentar:

Posting Komentar