Peranan Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005.
Posted by Label: Tugaz PoerPerjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Smona, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6, Helsinki, Finlandi. Perjanjian ini hasil kerjasama dengan pemerintah finlandia yang menjadi pihak penengah antara pemerintah RI dengan GAM. Negosiasi yang dilakukan pemerintah RI dan GAM mencapai titik temu yang menghasilkan kesepakatan mengenai konflik yang selama ini terjadi di Aceh. Perjanjian ini
disepakati tanggal 15 Agustus 2005 yang dinamakan dengan gold periode atau momentum emas.
disepakati tanggal 15 Agustus 2005 yang dinamakan dengan gold periode atau momentum emas.
Banyak orang yang menyimpulkan bahwa perjanjian antara pemerintah RI dan GAM terjadi karena Tsunami di Aceh yang menewaskan banyak korban jiwa serta harta benda mereka. Ini melunakkan para petinggi GAM dan pemerintah RI yang sedang berkonflik. Konflik antara GAM dan pemerintah RI sudah lama terjadi dan belum dapat diselesaikan sampai akhir ditandatanganinya perjanjian damai antara GAM pemerintah RI. Konflik ini bermula dari kurangnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah RI kepada masyarakat Indonesia yang jauh dari ibukota Negara. Pemerataan dalam pembangunan ekonomi juga kurang dilakukan oleh pemerintah, pembangunan-pembangunan di daerah-daerah jarang dilakukan oleh pemerintah sehingga warganya merasa tidak diperhatikan. Ini memunculkan wacana untuk memerdekakan diri dari RI oleh beberapa kaum intelektual Aceh yang merasa daerah diabaikan pemerintah. Keadaan ini membuat masyarakat bersatu untuk dapat memerdekakan wilayahnya dan mendirikan Negara sendiri, terpisah dari RI. Mereka membentuk barisan yang dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini sudah terjadi lama yang akhirnya Provinsi Aceh diberi otonomi khusus, tetapi ini juga kurang memuaskan bagi para petinggi GAM yang masih ingin memerdekakan Aceh sebagai suatu Negara yang merdeka, terpisah dari pemerintah RI. Otonomi ini yang kemudian merubah provinsi Aceh menjadi Daerah Istimewah Aceh seperti provinsi Yogyakarta yang juga diberi keistimewaan selain ibu kota Negara.
Setelah ditandatangani menjadi perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM nama aceh diganti menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Provinsi ini diberi keistimewaan pada hukum yang berlaku didaerah Nanggroe Aceh Darussalam, pada khusus daerah ini diberlakukan hukum islam bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Hukum Negara tidak dijadikan landasan hukum yang paling tinggi karena di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mayoritas penduduknya beragama islam, yang terkenal dengan sebutan serambi mekah. Disini pertama kalinya agama Islam masuk di Indonesia yang dibawa oleh para pedagang-pegadang Gujarat, penyebarannya melalui perdagangan antara penduduk asli dan para pedagang-pedagang yang kemudian terjadinya perkawinan diantara penduduk asli dengan pedagang-pedagang tersebut.
Tidak semua masyarakat Indonesia menyambut baik perjanjian damai antara pemerintahan RI dengan GAM, ini karena mereka menganggap pemerintah Indonesia banyak mengalami kerugian dalam perjanjian ini. Juga mereka menganggap ini sebuah strategi dari GAM untuk dapat memerdekakan diri seperti yang sudah mereka cita-cita semenjak mereka melakukan konflik dengan pemerintah RI. Namun sebagian orang menyambut baik perjanjian damai ini, karena merasa konflik akan berakhir, perang akan selesai, dan aceh akan damai kembali.
Tujuh bulan setelah nota kesepahaman dilakukan. Pihak GAM menyerahkan 840 senjata dan pemerintah RI memulangkan pasukan dan polisi 31.681 dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai kelanjutan dari perjanjian perdamaian dari pihak pemerintah RI dan pihak GAM, dan GAM secara resmi ditarik. Misi Monitoring Aceh dengan sukses mengawasi proses pelucutan, penampungan, demobilisasi, dan menyelidiki beberapa dugaan pelanggaran terhadap butir kesepakatan. Bagian tiga dari nota kesepakatan membantu proses reintegrasi mantan kombatan GAM dan tahanan politik (tapol) ke desa-desa dan masyarakat Aceh, yang meliputi kemudahan ekonomi, rehabilitasi harta benda publik dan perseorangan yang hancur atau rusak akibat konflik dan alokasi tanah pertanian, pekerjaan, dan jaminan social untuk mantan kombatan GAM, tapol serta yang terkena dampak. Pengalaman internasional menunjukan bahwa peralihan dari kehidupan militer ke kehidupan masyarakat bisa bermasalah dan berbagai kelompok termasuk perempuan, bisa tersisih dalam proses ini. Dalam sebuah konflik biasanya mereka yang mengikuti peperangan para laki-laki, dan perempuan yang ada bekerja sebagai pengganti dari para laki-laki yang pergi melakukan kehidupan militernya. Dengan kembalinya laki-laki ke kehidupan masyarakat secara tidak langsung menggeser posisi perempuan yang telah menggantikan kedudukan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Persaingan antara laki-laki dan perempuan dalam semakin ketat. Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat daripada perepuan dan juga anggapan perempuan yang harus bekerja di sektor domestic pun muncul, yang pada akhirnya menarik perempuan dari sektor publik yang selama ini dia kerjakan ketika laki-laki berada dalam kehidupan militer.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan dan keahlian baru. Berpindahnya dari kehidupan militer kedalam kehidupan masyarakat membuat mereka membutuhkan keahlian baru selain keahlian berperang dan berstrategi, keahlian lain akan menunjang dia kembali kekehidupan masyarakat dan membaur dengan masyarakat kembali setelah bertahun-tahun berada di kehidupan militer. Mereka membutuhkan tempat tinggal tanah, dan akses terhadap kesehatan. Masyarakat juga perlu mendapatkan bantuan dan memperoleh hak-hak mereka yang hilang semenjak konflik berkecambuk. Ini merupakan upaya reintegrasi yang dilakukan pemerintah, selain itu juga menyediakan dana 200 miliar pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 menyediakan dan 600 miliar. Masalah kembali muncul dengan pemberian dana tersebut. Pemerintah dan lembaga donor internasional meminta transparasi dana agar dapat dipertanggungjawabkan, namun pihak GAM merahasiakan nama-nama eks pasukannya demi keamanan mereka. Baru tanggal 15 Oktober 2005 disepakati suatu mekanisme penyaluran dana reintegrasi, dengan tetap menjaga kerahasiaan nama-nama eks GAM yang tersebar di 15 kabupaten dan kota dengan jumlah 3000 orang, yang mulai dilakukan bulan Oktober 2005.
Pada GAM yang menyembunyikan nama-nama eks pasukan GAM memang beralasan keselamatan dari eks GAM, ini sebagai tindakan preventif dimasa akan dating tentang keselamatan dari pasukannya atau keturunannya seperti yang terjadi pada pemberontakan G 30 S PKI, yang berakibat mereka dan keturunanya yang kemudian tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara. Perdamaian yang tercapai antara GAM dengan pemerintah RI menyisakan permasalahan para eks kombatan GAM. Mereka tidak mungkin keluar dari Aceh, melainkan mereka harus menyatu kembali dengan masyarakat Aceh. Mereka juga tidak mungkin mengangkat senjata karena Aceh tetap masuk kedalam bagian RI.
Tujuan spesifik sebuah proses DDR berbeda antara satu Negara dengan Negara yang lain dan harus dinyatakan secara eksplisit karena tujuan-tujuan itu akan menentukan bagaimana bentuk proses reintegrasi tersebut dan seberapa besar dana yang tersedia untuk reintegrasi. Reintegrasi yang dilakukakan pemerintah RI untuk membantu kesejahteraan eks GAM agar setelah berkonflik mereka mendapat sejahteraan dan melakukan aksi damai, serta kembali ke dalam Negara Indonesia.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Ekonomi. Konflik bersenjata mengikis aset-aset produktif baik di pedesaan maupun perkotaan, dan perlaku ekonomi formal atau informal. Konflik bersenjata menghancurkan tempat kerja dan memperlemah pasar kerja, pelatihan, dan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan ketenagakerjaan. Konflik bersenjata menghancurkan tanaman dan mungkin mengurangi produktifitas lahan melalui ranjau darat anti-personil. Konflik bersenjata juga mengakibatkan kerusakan yang cukup berarti terhadap infrastruktur fisik, social, dan ekonomi, menghambat kesempatan kerja yang produktif, kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Jaringan perdagangan terhambat dan investasi di sektor publik dan swasta menurun. Dalam hal ini sangat jelas, bahwa konflik mengakibatkan kerusakan yang sangat besar dari berbagai bidang kehidupan. Konflik tidak membawa pengaruh positif dari yang disebutkan diatas selain kehancuran, kerusakan, kemerosotan ekonomi, maupun yang lainnya. Konflik memang selalu dipandang sebagai suatu yang bersifat merusak.
Akibat konflik banyak terjadinya pengangguran karena banyaknya perusahaan-perusahaan yang ditutup karena konflik yang terjadi di Aceh. Para investor-investor yang akan menanam modal mengalihkan modalnya ketempat lain. Ini jelas menghambat pertumbuhan ekonomi selain itu terjadinya Tsunami juga menghambat pertumbuhan ekonomi di Aceh. Konflik di Aceh telah menghambat pertumbuhan ekonomi ditambah dengan Tsunami yang terjadi di Aceh semakin melumpuhkan perekonomian di daerah Aceh. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan tersedianya banyak lapangan kerja merupakan tantangan utama di Aceh. Pemerintah harus mempunya langkah-langkah strategi yang baik untuk mencapai perdamaian abadi di Aceh, maupun diseluruh Indonesia. Pemulihan reintegrasi di Aceh haruslah merekontruksikan social-ekonomi, yaitu memulihkan keadaan masyarakat yang sudah lama mengalami konflik, juga pembangunan ekonomi yang seluas-luasnya.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Program-program DDR biasanya dijalankan dalam konteks keamanan yang sangat menegangkan, karena kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan seta menjaga ketertiban dan stabilitas di negara-negara yang terkena dampak konflik biasanya lemah. Karena itu, program-program DDR pada umumnya kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolosian lokal pada saat DDR dilaksanakan. Pemfokusan yang dilakukan DDR dalam reintegrasi difokuskan kepada mantan geriliawan saja, oleh karena itu banyak orang yang terkena dampak konflik Aceh dan Tsunami tidak mengalami reintegrasi, ini menyebabkan mereka frustasi menghadapi kenyataan hidup mereka. Dalam sebuah konflik reintegrasi merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan, karena semua orang mengalami trauma tersendiri dari kejadian ini. Pemerintah telah berhasil dalam program mengurangi rasa tidak percaya dan meningkatkan toleransi antara kelompok-kelompok yang terkena dampak konflik, dan oleh karenanya mendukung proses rekonsiliasi dan reintegrasi.
Selain itu juga pemerintah memberikan akses bagi masyarakat Aceh dalam berpolitik dengan memberikan kebebasan membentuk partai politik yang pada pemilihan umum kemarin telah tercatat memiliki empat partai politik yang berdiri di Aceh. Ini merupakan bentuk DDR yang diberikan pemerintah dalam bidang politik.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Sosial dan Budaya. Reintegrasi adalah proses dimana mantan gerilyawan dan orang-orang yang bergantung pada mereka memasuki kehidupan sipil dan bergabung dengan masyarakat sipil melalui komunitas mereka baik yang baru maupun lama. Karena itu, program-program reintegrasi harus menitikberatkan perhatian baik pada mantan gerilyawan maupun komunitas penerima. Reintegrasi sangat perlu dilakukan agar konflik tidak terjadi lagi di Aceh, agar tidak ada rasa persaingan atau konflik dalam masyarakat Aceh sendiri. Penerima ini harus diimbangi oleh rasa tenggang rasa yang besar agar terlangsungnya kehidupan masyarakat yang damai dan sejaterah. Kedua belah pihak harus saling belajar satu sama lain untuk menerima keduanya dalam kehidupan masyarakat sipil. Dalam dunia kerja terbukti dapat membantu keberhasilan proses reintegrasi di masyarakat pasca konflik.
Profil pendidikan dan ketramilan para mantan gerilyawan hanya menggambarkan sebagian kecil citra identitas mereka, mengabaikan factor-faktor seperti ambisi, rasa frustasi, dan potensi mereka. Ketika para gerilyawan masuk kedalam masyarakat yang dinilai oleh masyarakat hany pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki oleh gerilyawan untuk memperoleh kesempatan lapangan kerja yang telah disediakan setelah konflik. Keinginan gerilyawan dalam kehidupan setelah berada diluar kehidupan militer, segera memperoleh penghidupan sesuai pilihannya.
Evaluasi Keberhasilan BRDA. BRDA sebagai salah satu actor kunci harus mampu membuat langkah-langkah strategisuntuk mengatasinya. Reintegrasi merupakan tahap ketiga atau tahap terakhir dari tahap-tahap sebelumnya yang telah dijalani sebelumnya, yaitu tahap pelucutan senjata pasukan militer GAM (disarmament) dan pembubaran struktur militer GAM dan pemulangan pasukan keamanan Indonesia (demobilization).
Program-program reintegrasi yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata kurang optimal. Ini disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hokum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. pertama BRDA meminta pemerintah mengubah paying hokum pembentukan BRDA sendiri. Penanganan Aceh pasca konflik jauh lebih penting dan memakan waktu lebih lama dibandingkan proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pasca bencana gempa dan Tsunami. Ini mengingat penanganan ini akan berakibat dengan berbagai macam bidang yang mempengaruhinya. Penanganan pasca konflik harus dilakukan secara cepat dan tepat agar perdamaian akan tetap berlangsung di Aceh selamanya.
Kedua, Sebagai konsekuensi logis dari Perubahan payung hokum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri. Masalah anggaran pada tahun 2007 BRDA hanya memperoleh anggara dana 250 miliar dari rencana anggaran 700 miliar, jauh dari perkiraan untuk melakukan penanganan konflik.
Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai stakeholder, termasuk lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembangunan Aceh. Cetak-biru berperan signifikan dalam memberikan petunjuk sudah sampai dimana proses perdamaian berlangsung.
Masih banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat pada BRDA yang menangani proses DDR di Aceh pasca konflik yang terjadi. Kelemahan-kelemahan ini tidak langsung mereka perbaiki agar para donor menyumbangkan bantuannya untuk pasca konflik berlangsung di Aceh. Apabila penanganan ini tidak cepat dilaksanakan maka konflik bisa terjadi di Aceh kembali, dan akan lebih susah penyelesaiannya karena sudah terjadi rasa percaya antar kedua belah pihak yang berkonflik.
Ada beberapa saran yang bisa dilakukan pemerintah dalam kasus konflik didaerah Aceh agar rekonsoliasi dapat terwujud. Pertama, perlu segera mengadakan pertemuan yang melibatkan semua komponen. Sehingga dapat menghasilkan rekomendasi dan memudahkan begi pemerintah Aceh menyelesaikan persoalan pemerintah, terutama keamanan selama ini. Kedua, menghindari adanya diskriminasi dalam pemerintahan dan pembangunan Aceh terutama KPA dengan masyarakat Aceh lainnya. Ketiga, menghilangkan karateristik negative seperti sombong, sirik, dan klaim lawan politik adalah musuh dan penghambat pembangunan.
0 komentar:
Posting Komentar